Total Tayangan Halaman

Minggu, 04 September 2011

Banjir Kota Tangerang

Berkembangnya kawasan perkotaan yang dicirikan dengan peningkatan jumlah penduduk dan aktifitasnya, seringkali mengakibatkan terlampauinya daya dukung lingkungan dan memunculkan permasalahan lingkungan seperti banjir ataupun tanah longsor. Tingginya kebutuhan lahan untuk permukiman atau kegiatan ekonomi, sementara pada sisi lainnya terbatasnya lahan perkotaan,  acapkali memicu terjadi perubahan pemanfaatan lahan dari yang semula sebagai daerah konservasi dan ruang terbuka hijau  menjadi lahan untuk kegiatan ekonomi perkotaan.  Akibatnya, daerah resapan air semakin berkurang sehingga meningkatkan aliran permukaan dan erosi, yang berdampak pada pendangkalan (penyempitan) sungai, dan memicu terjadinya luapan air (bencana banjir). Kondisi tersebut terlihat pada peta banjir jabotabek  yang semakin meluas.

 
Penyimpangan / ketidaksesuaian perkembangan pada kawasan Jabodetabek Punjur didapati pada daerah hulu maupun hilir. Selama kurun waktu 10 tahun (tata guna lahan Bopunjur dari 1990 ke tahun 1999), menunjukan luas lahan pemukiman meningkat 3 kali, dari 7,30% menjadi 22,94%., sehingga separuh lebih lahan ladang/persawahan menghilang, dari 34,88% menjadi 13,32%.
Merujuk pada Keppres No. 114/1999, tentang penataan ruang Bopunjur, mengarahkan pemanfaatan lahan sebagai daerah resapan sebesar 83,88%, sedangkan kawasan perkotaan hanya diperkenankan 16,12%.  Hasil Citra Landsat tahun 2001, menunjukan kawasan perkotaan bertambah menjadi 35.000 Ha atau 29%, sehingga telah terjadi pertambahan luas kawasan perkotaan dari tahun 1999 sampai tahun 2001 sebesar 6% (dari 23% menjadi 29%). Hal ini menunjukan telah terjadi penyimpangan kebijakan penataan ruang di Bopunjur dari arahan Keppres 114/1999. (Ditjen Penataan Ruang Departemen Kimpraswil)




BENCANA BANJIR KOTA TANGERANG; Bencana banjir yang terjadi di Kota Tangerang memiliki korelasi dengan penyimpangan pemanfaatan lahan yang terjadi pada perkembangan kawasan Jabodetabek Punjur.  Hampir setiap tahun bencana banjir berulang setiap tahunnya di Kota Tangerang dengan jumlah titik banjir yang berfluktuasi. Mencermati fluktuasi jumlah lokasi banjir diperlukan kecermatan, karena berkurangnya jumlah titik banjir tidak serta merta  dapat dijustifikasi bahwa permasalahan banjir sudah tertangani; banyak faktor yang harus diperhatikan dari mulai besaran curah hujan sampai dengan penyebaran dari lokasi banjir itu sendiri. (ada kemungkinan terjadi pergeseran lokasi atau bahkan beberapa titik banjir bersatu menjadi satu lokasi .....hehehe)
Permasalahan utama yang menyebabkan terjadinya banjir secara garis besar disebabkan oleh 2 faktor yang saling terkait satu dengan lainnya, yaitu :
1.    Permasalahan fisik (struktur)
2.    Permasalahan non fisik ( non struktur) 
PERMASALAHAN FISIK (STRUKTUR); terutama sangat berkaitan dengan meningkatnya koefisien aliran air dan erosi didaerah hulu yang menyebabkan terjadinya peningkatan debit air limpasan (surface run off water) dan pendangkalan/ penyempitan badan sungai. Kondisi tersebut yang mengakibatkan terjadinya luapan air sungai membanjiri daerah aliran sungai terutama di daerah hilir.  Penyebab utama terjadinya banjir di Kota Tangerang disebabkan beberapa faktor, yaitu :
1. Curah Hujan Yang Tinggi Dan Peningkatan Debit Air Permukaan; Hujan adalah sumber air yang paling awal dari seluruh aliran permukaan dan air tanah, oleh karena itu besarnya hujan yang turun,  terkait dengan potensi terjadinya banjir. Adapun yang  dimaksud dengan curah hujan adalah tingginya air hujan yang tertampung dalam daerah seluas 1 m2 tanpa mengalami penyerapan dan penguapan. Sehingga dapat diilustrasikan curah hujan 1 mm setara dengan volume air hujan 1 m x 1 m x 0,001 m = 0,001 m3 atau 1 liter untuk setiap m2 lahan.
Peningkatan debit air pada musim hujan, memiliki korelasi dengan perubahan tataguna lahan akibat perkembangan kota, dimana besar-kecilnya aliran permukaan, ditentukan oleh pola penggunaan lahan, yang diekspresikan dalam nilai koefisien pengaliran (C) dengan besaran yang berfariasi dari 0,10 pada hutan datar, 0,30 pada ruang terbuka hijau, sampai dengan 0,95 pada perkerasan jalan.  Hal ini mengilustrasikan bahwa terjadinya pengalihan fungsi lahan dari hutan menjadi perkerasan jalan, akan menyebabkan meningkatnya debit puncak banjir, 9,5 kalinya dari kondisi semula

2. Perubahan Tata Guna Lahan Di Daerah Hulu Menjadi Kawasan Terbangun Yang Menyebabkan Peningkatan Surface Run-Off Water Serta Terjadinya Erosi; Daerah Bogor-Puncak-Cianjur (Bopunjur) merupakan daerah penyerapan air bagi kota Jakarta dan Tangerang. Saat ini kondisi kawasan Bopunjur telah mengalami perubahan tata guna lahan yang signifikan, seperti yang terlihat dari spanduk – spanduk yang menawarkan perumahan vila disepanjang jalan dikawasan tersebut. Jika dahulu pembangunan vila dilakukan secara individual, saat ini dilakukan oleh developer yang berarti telah terjadi perubahan tata guna lahan dalam skala besar. 
Perubahan tersebut menyebabkan bertambahnya surface run-off water, berarti berkurangnya air hujan yang menyerap menjadi air tanah.  Akibatnya debit aliran sungai pada musim hujan semakin besar. Sedangkan pada musim kemarau, debit air sungai dari waktu ke waktu semakin rendah, karena sumber-sumber penyerapan air di daerah hulu telah berkurang. Akibat lain yang ditimbulkan dari perubahan tata guna lahan tersebut adalah bertambah besarnya erosi oleh air limpasan yang selanjutnya menyebabkan pendangkalan sungai – sungai di daerah hilir yang mengalir melalui jakarta dan Tangerang.


3. Penyimpangan Pemanfaatan Lahan Yang Menyebabkan  berkurangnya area  Penampungan/Tempat Parkir Air (Situ/Rawa); Penyusunan rencana tata ruang pada dasarnya telah disusun berdasarkan analisa daya dukung lahan, sehingga kebijakan pemanfaatan ruang memperhatikan proporsi ruang yang berimbang antara kawasan lindung/konservasi dan kawasan budidaya. Kelemahan tata ruang umumnya terjadi pada proses pemanfaatan (implementasi di lapangan) dan pengendalian tata ruang. Penyimpangan yang terjadi pada tahapan implementasi inilah yang mengakibatkan berkurangnya area tempat penampungan /parkir air



4. Penyempitan Dan Pendangkalan Saluran Dan Sungai; Kurangnya tingkat disiplin masyarakat ditambah dengan kemampuan ekonomi yang rendah menyebabkan sebagian masyarakat menjadikan bantaran sungai sebagai pemukiman.  Selain itu kebiasaan sebagian masyarakat yang menjadikan sungai sebagai tempat pembuangan sampah ditambah dengan material hasil erosi di daerah hulu menyebabkan cepatnya proses pendangkalan sungai. Akibatnya, Program normalisasi sungai yang dilaksanakan oleh Dinas PU, tidak dapat mengimbangi proses pendangkalan sungai oleh sampah dan lumpur. Disamping itu kegiatan pengerukan sungai–sungai yang tidak dilakukan secara rutin setiap tahun, dan memerlukan pengerahan tenaga dan biaya yang cukup besar, menjadi problem tersendiri yang menambah kompleksitas permasalahan banjir. Terkait masalah pengelolaan sungai, banjir Kota Tangerang juga dipengaruhi oleh :

  1. Perubahan Fungsi Saluran Irigasi; Perubahan fungsi wilayah Kota Tangerang dari pedesaan/pertanian ke perkotaan, menyebabkan system irigasi yang pada awalnya dirancang untuk mengalirkan kebutuhan air dari Bendungan 10 Sungai Cisadane ke kawasan pertanian, saaat ini telah berubah fungsi menjadi saluran pembuangan drainase perkotaan. Kondisi ini sangat bertolak belakang dengan specifikasi teknis dari saluran irigasi, sehingga pada musim hujan debit air limpasan tidak dapat dialirkan keluar, bahkan mendapat kiriman air dari Sungai Cisadane. 
  2. Budaya membuang sampah ke sungai; Kebiasaan membuang sampah ke sungai, terutama pada daerah aliran sungai, memberi kontribusi terhadap percepatan pendangkalan/penyempitan saluran dan sungai.  Kapasitas sungai dan saluran drainase menjadi berkurang, sehingga tidak mampu lagi menampung debit yang terjadi  dan mengakibatkan meluapnya air (banjir)


PERMASALAHAN NON FISIK; Permasalahan non fisik adalah permasalahan yang tidak terkait secara langsung dengan kemampuan daya dukung lahan akan tetapi ikut mempengaruhi timbulnya masalah fisik sehingga memicu terjadinya bencana banjir. Permasalahan non fisik umumnya disebabkan ketidak jelasan batasan kewenangan dan tanggung jawab didalam pengelolaan sumber daya air, akibat perubahan pola pemerintahan dari sentralistik ke otonomi daerah, yang tidak segera dikuti dengan kejelasan petunjuk operasional / pedoman implementasi, dari berbagai regulasi ’baru’ seperti Undang-undang Sumber Daya Air (UU No.7/2004) dan Undang-undang Penataan Ruang (UU No.26/2007).  



PROGRAM PENANGANAN BANJIR; Bertolak dari kompleksnya permasalahan banjir, maka sudah seharusnya konsep penanganan banjir dilakukan secara  komprehensif dan terintegrasi antar lintas batas administrasi, dengan memperhatikan dan mempertimbangkan :

*  Permasalahan sistem drainase  terdiri atas berbagai faktor (fisik lingkungan, pengaturan, manajemen, kelembagaan, legalitas, pembiayaan) yang saling terkait satu dengan lainnya.  Konsep penanganan banjir harus menyentuh semua faktor tersebut.
*  Ruang lingkup sistem drainase adalah mencakup sebuah DAS (Daerah Aliran Sungai), yang luasannya terkadang melewati batas administrasi (kewenangan yuridiksi) dari sebuah pemerintah daerah. Oleh karena itu penataan sistem drainase dan penanganan banjir harus diangkat pada tingkat yang lebih tinggi karena memerlukan integrasi seluruh pemerintah daerah yang wilayahnya dipengaruhi oleh DAS yang sama. Penanganan banjir yang tidak terintegrasi, tidak akan menyelesaikan permasalahan banjir secara tuntas, melainkan hanya menyebabkan beralihnya banjir dari satu lokasi ke lokasi yang lain