Berkembangnya kawasan perkotaan yang dicirikan dengan peningkatan jumlah penduduk dan aktifitasnya, seringkali mengakibatkan terlampauinya daya dukung lingkungan dan memunculkan permasalahan lingkungan seperti banjir ataupun tanah longsor. Tingginya kebutuhan lahan untuk permukiman atau kegiatan ekonomi, sementara pada sisi lainnya terbatasnya lahan perkotaan, acapkali memicu terjadi perubahan pemanfaatan lahan dari yang semula sebagai daerah konservasi dan ruang terbuka hijau menjadi lahan untuk kegiatan ekonomi perkotaan. Akibatnya, daerah resapan air semakin berkurang sehingga meningkatkan aliran permukaan dan erosi, yang berdampak pada pendangkalan (penyempitan) sungai, dan memicu terjadinya luapan air (bencana banjir). Kondisi tersebut terlihat pada peta banjir jabotabek yang semakin meluas.
Penyimpangan / ketidaksesuaian perkembangan pada kawasan Jabodetabek Punjur didapati pada daerah hulu maupun hilir. Selama kurun waktu 10 tahun (tata guna lahan Bopunjur dari 1990 ke tahun 1999), menunjukan luas lahan pemukiman meningkat 3 kali, dari 7,30% menjadi 22,94%., sehingga separuh lebih lahan ladang/persawahan menghilang, dari 34,88% menjadi 13,32%.
Peningkatan debit air pada musim hujan, memiliki korelasi dengan
perubahan tataguna lahan akibat perkembangan kota, dimana besar-kecilnya aliran permukaan,
ditentukan oleh pola penggunaan lahan, yang diekspresikan dalam nilai koefisien
pengaliran (C) dengan besaran yang berfariasi dari 0,10 pada hutan datar, 0,30
pada ruang terbuka hijau, sampai dengan 0,95 pada perkerasan jalan. Hal ini mengilustrasikan bahwa terjadinya
pengalihan fungsi lahan dari hutan menjadi perkerasan jalan, akan menyebabkan
meningkatnya debit puncak banjir, 9,5 kalinya dari kondisi semula
Merujuk pada Keppres No. 114/1999, tentang penataan ruang Bopunjur, mengarahkan pemanfaatan lahan sebagai daerah resapan sebesar 83,88%, sedangkan kawasan perkotaan hanya diperkenankan 16,12%. Hasil Citra Landsat tahun 2001, menunjukan kawasan perkotaan bertambah menjadi 35.000 Ha atau 29%, sehingga telah terjadi pertambahan luas kawasan perkotaan dari tahun 1999 sampai tahun 2001 sebesar 6% (dari 23% menjadi 29%). Hal ini menunjukan telah terjadi penyimpangan kebijakan penataan ruang di Bopunjur dari arahan Keppres 114/1999. (Ditjen Penataan Ruang Departemen Kimpraswil)
BENCANA BANJIR KOTA TANGERANG; Bencana banjir yang terjadi di Kota Tangerang memiliki korelasi dengan penyimpangan pemanfaatan lahan yang terjadi pada perkembangan kawasan Jabodetabek Punjur. Hampir setiap tahun bencana banjir berulang setiap tahunnya di Kota Tangerang dengan jumlah titik banjir yang berfluktuasi. Mencermati fluktuasi jumlah lokasi banjir diperlukan kecermatan, karena berkurangnya jumlah titik banjir tidak serta merta dapat dijustifikasi bahwa permasalahan banjir sudah tertangani; banyak faktor yang harus diperhatikan dari mulai besaran curah hujan sampai dengan penyebaran dari lokasi banjir itu sendiri. (ada kemungkinan terjadi pergeseran lokasi atau bahkan beberapa titik banjir bersatu menjadi satu lokasi .....hehehe)
Permasalahan
utama yang menyebabkan terjadinya banjir secara garis besar
disebabkan oleh 2 faktor yang saling terkait satu dengan lainnya, yaitu :
1. Permasalahan fisik (struktur)
2. Permasalahan non fisik ( non struktur)
PERMASALAHAN FISIK (STRUKTUR); terutama sangat berkaitan dengan meningkatnya koefisien aliran air dan
erosi didaerah hulu yang menyebabkan terjadinya peningkatan debit air limpasan (surface
run off water) dan pendangkalan/ penyempitan badan sungai. Kondisi tersebut yang
mengakibatkan terjadinya luapan air sungai membanjiri daerah aliran sungai
terutama di daerah hilir. Penyebab utama
terjadinya banjir di Kota Tangerang disebabkan beberapa faktor, yaitu :
1. Curah Hujan Yang Tinggi Dan Peningkatan Debit
Air Permukaan; Hujan adalah sumber air yang paling awal dari seluruh aliran permukaan dan
air tanah, oleh karena itu besarnya hujan yang turun, terkait dengan
potensi terjadinya banjir. Adapun yang
dimaksud dengan curah hujan adalah tingginya air hujan yang tertampung
dalam daerah seluas 1 m2 tanpa mengalami penyerapan dan penguapan.
Sehingga dapat diilustrasikan curah hujan 1 mm setara dengan volume air
hujan 1 m x 1 m x 0,001 m = 0,001 m3 atau 1 liter untuk setiap m2
lahan.
2. Perubahan Tata Guna Lahan Di Daerah Hulu Menjadi Kawasan Terbangun
Yang Menyebabkan Peningkatan Surface Run-Off Water Serta Terjadinya Erosi; Daerah Bogor-Puncak-Cianjur (Bopunjur) merupakan daerah penyerapan air bagi
kota Jakarta dan Tangerang. Saat ini kondisi kawasan
Bopunjur telah mengalami perubahan tata guna lahan yang signifikan, seperti
yang terlihat dari spanduk – spanduk yang menawarkan perumahan vila disepanjang
jalan dikawasan tersebut. Jika dahulu pembangunan vila dilakukan secara
individual, saat ini dilakukan oleh developer yang berarti telah terjadi
perubahan tata guna lahan dalam skala besar.
Perubahan tersebut menyebabkan bertambahnya surface run-off water,
berarti berkurangnya air hujan yang menyerap menjadi air tanah. Akibatnya debit aliran sungai pada musim hujan
semakin besar. Sedangkan pada musim kemarau, debit air sungai dari waktu ke
waktu semakin rendah, karena sumber-sumber penyerapan air di daerah hulu telah
berkurang. Akibat lain yang ditimbulkan dari perubahan tata guna lahan tersebut adalah
bertambah besarnya erosi oleh air limpasan yang selanjutnya menyebabkan
pendangkalan sungai – sungai di daerah hilir yang mengalir melalui jakarta dan
Tangerang.
3. Penyimpangan
Pemanfaatan Lahan Yang Menyebabkan berkurangnya area Penampungan/Tempat Parkir Air (Situ/Rawa); Penyusunan rencana tata ruang pada dasarnya telah disusun berdasarkan
analisa daya dukung lahan, sehingga kebijakan pemanfaatan ruang memperhatikan
proporsi ruang yang berimbang antara kawasan lindung/konservasi dan kawasan
budidaya. Kelemahan tata ruang umumnya terjadi pada proses pemanfaatan (implementasi di lapangan) dan
pengendalian tata ruang. Penyimpangan yang terjadi pada tahapan implementasi inilah yang mengakibatkan berkurangnya area tempat penampungan /parkir air
4. Penyempitan Dan Pendangkalan Saluran Dan Sungai; Kurangnya tingkat disiplin masyarakat ditambah dengan kemampuan ekonomi yang
rendah menyebabkan sebagian masyarakat menjadikan bantaran sungai sebagai
pemukiman. Selain itu kebiasaan sebagian
masyarakat yang menjadikan sungai sebagai tempat pembuangan sampah ditambah
dengan material hasil erosi di daerah hulu menyebabkan cepatnya proses pendangkalan
sungai. Akibatnya, Program normalisasi sungai yang dilaksanakan oleh Dinas PU, tidak dapat
mengimbangi proses pendangkalan sungai oleh sampah dan lumpur. Disamping itu kegiatan pengerukan
sungai–sungai yang tidak dilakukan secara rutin setiap tahun, dan memerlukan pengerahan tenaga dan biaya yang cukup besar, menjadi problem tersendiri yang menambah kompleksitas permasalahan banjir. Terkait masalah pengelolaan
sungai, banjir Kota Tangerang juga dipengaruhi oleh :
- Perubahan Fungsi Saluran Irigasi; Perubahan fungsi wilayah Kota Tangerang dari pedesaan/pertanian ke perkotaan, menyebabkan system irigasi yang pada awalnya dirancang untuk mengalirkan kebutuhan air dari Bendungan 10 Sungai Cisadane ke kawasan pertanian, saaat ini telah berubah fungsi menjadi saluran pembuangan drainase perkotaan. Kondisi ini sangat bertolak belakang dengan specifikasi teknis dari saluran irigasi, sehingga pada musim hujan debit air limpasan tidak dapat dialirkan keluar, bahkan mendapat kiriman air dari Sungai Cisadane.
- Budaya membuang sampah ke sungai; Kebiasaan membuang sampah ke sungai, terutama pada daerah aliran sungai, memberi kontribusi terhadap percepatan pendangkalan/penyempitan saluran dan sungai. Kapasitas sungai dan saluran drainase menjadi berkurang, sehingga tidak mampu lagi menampung debit yang terjadi dan mengakibatkan meluapnya air (banjir)
PERMASALAHAN NON FISIK;
Permasalahan non fisik adalah permasalahan yang tidak
terkait secara langsung dengan kemampuan daya dukung lahan akan tetapi ikut mempengaruhi
timbulnya masalah fisik sehingga memicu terjadinya bencana banjir. Permasalahan
non fisik umumnya disebabkan ketidak
jelasan batasan kewenangan dan tanggung
jawab didalam pengelolaan sumber daya air, akibat perubahan pola
pemerintahan dari sentralistik ke otonomi daerah, yang tidak segera dikuti
dengan kejelasan petunjuk operasional / pedoman implementasi, dari berbagai
regulasi ’baru’ seperti Undang-undang Sumber Daya Air (UU No.7/2004) dan
Undang-undang Penataan Ruang (UU No.26/2007).
PROGRAM PENANGANAN BANJIR; Bertolak dari kompleksnya permasalahan banjir, maka sudah
seharusnya konsep penanganan banjir dilakukan secara komprehensif dan terintegrasi antar lintas
batas administrasi, dengan memperhatikan dan mempertimbangkan :
* Permasalahan sistem drainase terdiri atas berbagai faktor (fisik lingkungan,
pengaturan, manajemen, kelembagaan, legalitas, pembiayaan) yang saling terkait satu dengan lainnya. Konsep penanganan banjir harus menyentuh semua
faktor tersebut.
* Ruang lingkup sistem drainase adalah mencakup
sebuah DAS (Daerah Aliran Sungai), yang luasannya terkadang melewati batas
administrasi (kewenangan yuridiksi) dari sebuah pemerintah daerah. Oleh karena
itu penataan sistem drainase dan penanganan banjir harus diangkat pada tingkat
yang lebih tinggi karena memerlukan integrasi seluruh pemerintah daerah yang
wilayahnya dipengaruhi oleh DAS yang sama. Penanganan banjir yang tidak terintegrasi, tidak akan menyelesaikan
permasalahan banjir secara tuntas, melainkan hanya menyebabkan beralihnya banjir dari satu lokasi
ke lokasi yang lain